soegiantohartono.blogspot.com

Sabtu, 13 November 2010

Perda RTRW Versus Investor


Babak menegangkan mengenai perda RTRW (Rancangan Tata Ruang Wilayah) kini sedang memasuki proses hukum di Mahkamah Agung(MA). Lantaran merugikan beberapa investor asing yang memiliki lahan didekat kawasan suci di Bali, yang tidak diperbolehkan membangun akomodasi pariwisata. Dari sejumlah kasus yang merebak ke permukaan, yang paling menonjol meluasnya pembangunan hotel dan vila di kawasan yang dilarang oleh Perda Nomor 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali.
Secara langsung para investor asing melakukan gugatan atas hal tersebut ke MA, dengan harapan akses untuk melanggengkan pembangunan yang super megah tersebut berjalan lancar. Jika para investor behasil memenangkan “permainan” tersebut maka tidak ada harapan untuk Bali lagi berbenah, melihat kondisi alam yang semakin terekploitasi, dimana menjadi pendulang industri pariwisata internasional.
Merujuk Perda Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali, sesungguhnya banyak kawasan yang mesti dilindungi oleh pemerintah bersama masyarakat. Sedikitnya ada tujuh kawasan yang luasnya mencapai 42.554 hektar (7,6 persen) dari luas Pulau Bali yang mesti dilindungi pemerintah bersama masyarakat. Di antaranya kawasan suci, tempat suci, sempadan pantai, sempadan danau, sempadan jurang dan kawasan sekitar mata air seperti sungai dan danau. Kriteria perlindungan pun sudah jelas dalam Perda 3/2005 itu. Kawasan tempat suci sekitar Pura Sad Kahyangan radius yang mesti dilindungi 5.000 meter dari sisi luar panyengker pura. Sementara penetapan sempadan pantai dalam perda ini 100 meter dari daratan sepanjang pesisir dengan lebar proporsional sesuai bentuk dan kondisinya.
Sangat prihatin dan miris rasanya, jika bertutur hal-hal yang “baik” mengenai Bali. Meskipun memang dampak yang dirasakan masyarakat dalam mendenyutkan perekonomian yang hanya mengandalkan alam Bali dan budaya, cukup signifikan dirasakan oleh semua lapisan. Banyak hal pemandangan mewah dan gedung-gedung yang berbasis pariwisata telah kekar terbagun dibibir pantai Bali, pasca kedatangan turis-turis yang sampai sekarang hinggap di Bali dan menjadi seoarang investor. Perannya untuk membangun Bali dimata dunia memang sangat membantu, pangsa pariwisata yang sering didengungkan diluar negeri mengenai Pulau Bali sebagau pulau dewata, tentu memberikan nilai plus tersendiri.
Namun menyimak kiprah investor yang begitu rakus untuk mengubah tatanan lingkungan dan budaya Bali menjadi nuansa ala Barat tentu harus di tentang oleh seluruh komponen masyarakat. Mengingat Bali telah bopeng disana-sini, karena ulah para pemodal tersebut dengan sesuka hati mengekpansi bangunan berupa hotel dan vila, tanpa memperhitungkan kondisi alam Bali saat ini. Keberadaan RTRW harus dipertahankan dan sebagai regulasi yang harus diperkuat, jika menginginkan Bali dan alam yang asri ini tetap terjaga.
Acapkali membingungkan dibenak kita semua, karena masih saja ada terjadi pembiaran pelanggaran atas Perda Tata Ruang Bali khususnya disetiap kebijakan di Kabupaten. Tentunya menginginkan Penghasilan Asli Daerah(PAD) yang maksimal pasca penentuan desentralisasi, dimana daerah berhak mengatur wilayahnya sendiri dari penghasilan dan pengelolaannya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan selalu menjadi pertentangan dan perdebatan yang luar biasa atas keberadaan investor. Disatu sisi peran Investor yang menamkan modal atau dengan pembanguan hotel maupun Vila pun menjadi pilihan yang cukup strategis untuk meningkatkan PAD, namum disisi lain hal tersebut berdampak buruk pada kelangsungan ekosistem palemahan Bali yang terpuruk.
Rongrongan investor tak seharusnya di lanjutkan. Sudah bayak lahan Bali yang menjadi korban keganasan meraka, Pelanggaran radius kesucian pura di Uluwatu Badung dan Silayukti Padangbai. Kawasan perlindungan mata air danau di sekitar Danau Buyan. Tentunya merupakan beberapa bukti nyata yang telah terjadi, bahwa investor-investor tersebut tak bisa diberikan ampun lagi untuk melanjutkan langkah selanjutnya yang kemungkinan besar akan membunuh karakter alam Bali. Namun itu semua kembali pada Pemimpin daerah masing-masing yang memiliki kebijakan, karena investor “nekad” pun membangun vila tentunya mendapatkan restu dan legalisasi dari dewan setempat.
Jika ini terjadi pada tujuh kabupaten di Bali, jangan harap pesona alam Bali akan tetap indah dan metaksu. Tentunya menjadi komitmen awal dan keras pemerintah untuk merevitalisasi kekuatan hukum RTRW. Hentikan negoisasi, jika ingin menyelamatkan alam Bali sebagai warisa anak cucu di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar