soegiantohartono.blogspot.com

Jumat, 19 November 2010

Belajar Berdemokrasi


Foto:Aksi mahasiswa di depan gedung DPRD Bali
Menyandang status sebagai mahasisiwa tentu merupakan bukan sebuah kebetulan. Status orang terpelajar/intelek, yang memiliki pola pikir progresif dan tidak hanya peka terhadap hal-hal yang besar  namun  peduli jyga  terhadap  hal yang sangat kecil.
Gaung mahasiswa, khususnya diindonesia tentu memiliki pergerakan tersendiri dalam bingkai sejarah yang telah terukir. Tumbangnya rezim orede baru adalah bukti kongket kekuatan massif mahasiswa yang terpadu. Semenjak itu, mahasisiwa lebih memiliki branding dimata rakyat Indonesia.
Memasuki dunia reformasi sampai demokrasi  saat ini, tentu telah menjadi catatan tersendiri di  bumi pertiwi  yang telah merdeka selama 65 tahun. Namun, tidak begitu dengan prilaku seorang agen perubahan dengan dedikasi  tinggi dan berkarakter saat ini.
Tudingan bahkan cap negatif, mengenai sisi buruk mahasiswa yang selalu melakukan aksi  “nakal”-nya acapkali meludahi sejarah terdahulu mengenai citra mahasiswa yang identik sebagai “dewa penolong” bagi kaum  lemah. Itu tercermin dari demonstarsi yang dilakukan belakangan ini. Anarkis dan kriminalistis.
Menjadi sorotan publik. Pola tingkah mahasiswa yang berujung pada luapan emosi dalam menyampaikan pendapat di hadapan ruang terbuka, bahkan samapi harus merusak simbol dan inventaris Negara. Ironis memang. Energi demokrasi negeri ini telah meluap, sehingga ledakannya mempengaruhi tempramental mahasiswa yang mengatas namakan agen  perubah tersebut.
Memang bagi sebagaian mahasiswa,  terkadang pandangan yang disampaikan ke legislatif maupun eksekutif tak banyak ditanggapi secara holistik. Meskipun beragam pernyataan sikap, bahkan petisi yang dilontarkan untuk  berbenah. Namun tidak adanya feedback secara langsung, sehingga hawa “gerah” pun semakin meninggi. 
Untuk itu  ada jalan pintas yang digunakan mahasiswa untuk  mencari perhatian dari pemerintah.  Mahasiswa pun mendayakan “cara lain” yang lebih sensitif, dimana bisa  memberikan getaran shockterapy bagi pemerintah. Hasilnya pun bisa kita saksikan saat ini. Aksi gila-gilaan yang dipertontonka tergolong ekstrim pun menjadi hal yang tidak tabu lagi,  sehingga para wakil rakyat di senayan bahakn pemimpin dinegeri ini pun, semakin kewalahan menyikapi ihwal tersebut.
Namun adakah cara lain, untuk mencari perhatian pemerintah tanpa harus melakukan aksi anarkis yang hanya merugikan kita semua?  Tentunya banyak jalan menuju roma. Sebagai Negara demokrasi, seharisnya mahasiswa mulai mengimplemenrasikan ilmu-ilmu yang didapat di kampus. Agar lebih bijak dalam menyampaikan pandangan tanpa harus bersikap apatis dan ricuh. Dengan  mempelajari arti demokrasi seutuhnya.

1 komentar: